25 April 2009

Diakonia Palang Pintu

Mencegah Jatuhnya Korban Pembangunan

Oleh Frans Anggal

George Junus Aditjondro punya usulan dalam pertemuan Tahun Peduli Kemiskinan Keuskupan Ruteng. Menghadapi dampak industri pertambangan dan pembalakan yang hancurkan lingkungan dan rugikan rakyat kecil, ia anjurkan Gereja kembangkan “diakonia palang pintu”. Bukan sekadar “diakonia palang merah”. Kalau “diakonia palang merah” hanya mengobati luka-luka pembangunan, “diakonia palang pintu” mencegah jatuhnya korban.

Usulan Aditjondro bukan hal baru. Ia hanya mengingatkan tugas Gereja. Diakonia atau pelayanan merupakan tugas Gereja secara menyeluruh selaku tubuh Kristus. Pelayanan tidak hanya kepada sesama umat, tetapi juga kepada umat lain, bahkan kepada seluruh ciptaan. Diakonia mencakup usaha menegakkan keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan. “Diakonia palang pintu” hanyalah penamaan baru atas satu dari tiga jenis diakonia Gereja.

Ada diakonia karitatif alias diakonia belas kasihan. Pelayanan cuma-cuma kepada yang tak mampu.Tidak untuk membawanya menuju perubahan, tetapi sekadar meringankan deritanya. Analoginya: memberi ikan kepada orang lapar. Ikan habis, lapar lagi, dan harus dikasih lagi. Sampai kapan? Jika karitatif melulu, diakonia hanya melahirkan ketergantungan.

Yang dilayani harus berubah. Ia harus dimampukan dan diberdayakan. Misalnya melalui penyuluhan atau bantuan modal kerja. Analoginya: memberi kail dan keterampilan mengail, bukan lagi memberi ikan. Ini diakonia reformatif.

Dalam kenyataan, beri ikan dan kail saja tidak lagi cukup. Peningkatan modal dan teknologi sering belum mampu menjawab masalah yang dihadapi. Analoginya: ada kail dan mau pergi mengail, tapi sungainya sudah dikuasai orang lain. Pengail diusir. Ke sungai lain, sama juga. Semua ikan mati tercemar oleh limbah pabrik yang dibangun di atas sungai. Bagaimana mencegah atau mengusir si penyerobot demi tetap hidupnya si pengail dan tetap lestarinya sungai, itulah diakonia transformatif.

Dalam diakonia transformatif, Aditjondro menekankan perlunya mencegah dampak buruk pembangunan. Gereja harus berjuang juga di aras ini. Jangan tunggu korban jatuh baru tolong. “Diakonia palang merah” atau diakonia karitatif tidaklah cukup. Perlu dan sudah saatnya “diakonia palang pintu”.

Perjuangan JPIC OFM dan JPIC SVD mendampingi masyarakat tolak tambang emas di Lembata adalah contoh yang tepat. Tepat tindakannya dan tepat waktunya. Mencegah. Sedangkan dalam tolak tambang mangan di Manggarai, tepat tindakan tapi tidak tepat waktu. Terlambat. Tak mengapa, daripada tidak sama sekali. Kita bangga, Gereja seperti ini.

Yang mengecewakan, jika hierarki Gereja mengabaikan “diakonia palang pintu” karena keenakan dengan “diakonia palang sejajar”. Sejajar dengan penguasa, sejajar dengan pengusaha, merugikan rakyat.

“Bentara” FLORES POS, Sabtu 25 April 2009

Tidak ada komentar: